Membaca adalah salah satu cara kita menggali informasi. Apapun bacaannya, aku menganggap itu bermanfaat untuk menambah wawasan kita. Mulai dari literatur akademik sampai dengan bungkus mie instan Korea, kalau aku mampu menangkap maknanya (terlepas dari apapun bahasa yang digunakan), kemungkinan aku akan membacanya.
Jujur saja, akhir-akhir ini minat bacaku memang agak menurun. Hal ini disebabkan kesibukan (sok sibuk) dan juga lebih menariknya media elektronik untuk disimak.
Untuk meningkatkan minat bacaku, aku berusaha agar tidak terlepas dari buku, karena itu untuk saat ini aku pilih buku fiksi saja.
Jadi sekitar awal tahun 2015, aku membeli buku yang berjudul Little Women karya Louisa May Alcott. Mungkin beberapa dari Anda sudah mengenal buku ini. Aku sudah lama tertarik dengan buku ini karena buku ini memang sangat terkenal dan juga bahkan ada yang menganggapnya sebagai literatur karya sastra modern.
Saking suksesnya buku Little Woman ini membuatnya sudah empat kali diangkat menjadi film yaitu pada tahun 1933, 1948, 1978 dan 1994.
Karena aku tidak mau “mengkhianati” buku yang sudah aku beli, aku menahan diri untuk tidak menonton filmnya. Padahal, aku sudah mengunduh film Little Women (yang versi 1994) lebih dari setahun yang lalu.
Pada awal September ini akhirnya aku selesai membaca buku Little Women ini (lama banget, ya). “Finally I wil watch the movie, and having fun”, that’s something I though.
Kembali sedikit ke bukunya. Jadi, pada tahun 1868 buku Little Women mengalami kesuksesan yang sangat besar. Segera saja Louisa May Alcott menerbitkan buku kedua dari kisah keluarga March ini pada tahun selanjutnya yaitu 1869. Buku kedua ini diberi Judul Good Wives. Pada penerbitan tahun-tahun selanjutnya, ada yang menerbitkan buku ini secara terpisah dan ada juga yang menerbitkan secara bundled. Hal tersebut baru aku ketahui baru-baru ini saja, setelah semuanya terlambat, ketika hati dan perasaanku sudah tercabik-cabik oleh cerita Good Wives.
Buku yang aku beli adalah buku dengan versi terpisah yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2014. Hal ini baru aku sadari setelah membaca catatan kecil di akhir buku.
|
Ternyata ada temannya |
Sedangkan film yang dibuat pada tahun 1994 (film yang aku tonton kemarin) adalah film yang ceritanya dibuat dari kedua buku ini (Little Women dan Good Wives). Hal itu yang tidak pernah aku ketahui.
|
Profil Little Women (1994) di IMDB |
Aku merasa sedikit keheranan ketika film baru saja setengah berjalan, tapi cerita yang ditampilkan sudah mencapai akhir buku Little Women. Beberapa saat kemudian aku baru ingat kalau buku Little Women punya sequel yang berjudul Good Wives.
Awalnya aku enjoy saja menonton film ini, sampai pada titik tertentu aku mulai tercabik-cabik.
Aku yang belum membaca buku Good Wives tentu saja belum tahu alur cerita paruh kedua dari film ini. Eskalasi suasana emosional yang dihadirkan pada paruh kedua film Little Women hadir dengan cara yang sangat ekstrem bagiku yang mengingat bahwa buku Little Women menceritakan tentang kehidupan keluarga gadis-gadis muda (kalau tidak dibilang kecil).
|
Yang ini belum baca. Sumber gramedia.com |
Film yang awalnya aku kira hanya menyajikan kisah-kisah penuh nilai kebaikan yang dibawakan oleh gadis-gadis muda ternyata juga menghadirkan kisah intrik khas orang dewasa seiring bertambah dewasanya mereka. Hal ini yang membuat aku benar-benar merasa kecele dan bahkan terombang-ambing secara emosional.
Terlepas dari rasa “tercabik-cabik”-ku, aku menyarankan kepada teman-teman sekalian untuk membaca atau menonton film ini karena cerita yang disajikan penuh dengan nilai-nilai kebaikan.
Nah, bagaimana dengan teman-teman sekalian? Apakah pernah membaca buku atau menonton filmnya? Atau ada rekomendasi film lain yang juga bisa membuat hati tercabik-cabik?